Rabu, 19 November 2008

Menjadi Tidak “Indonesia”

Menjadi Tidak “Indonesia”

Menelusuri kondisi nyata social Indonesia akhir-akhir ini, telah memberikan gambaran kondisi memprihatinkan. menjajaki alam sosial bangsa ku melalui alat penglihatan teori post colonial misalnya, nampak semakin jelas keprihatinan warga tidak pada sebatas tidak mengerti akan bangsa nya, tapi lebih parah mereka menggugat dan sekaligus mencabik-cabik atas nama indonesia. segenap warga bangsa ini mulai dari bagian sabang sampai meroke, berusaha keluar atas nama bangsa nya. kenapa ini terjadi? kenapa mereka tidak ingin menjadi indonesia?

Lihat lah misalnya 2 tahun sebelumnya, indonesia telah di uji atas konplik etnik, konplik kelompok, bahkan ingin merdeka dan keluar dari bangsa bernama "indonesia". papua menuntut, aceh meminta dan sebagian besat kota dan kabupaten menuntuk hak dan keadilan. sejarah dan cita-cita pendirian bangsa bernama "indonesia" telah rapuh sekaligus keluar dari lagu bangsaku negeri ku, yang setiap tahun di nyanyikan bersama para praktisi politik dan pemuda.

kami telah menulis di alamat blog yang sama, terkait problem konplik sosial. intinya memang peta sosial bangsa ku juga warga nya tengah di hantui masalah besar, warga bangsa ini tengah di hantui dendam kusumat. "dendam" kini tengah membesar dan menghantui yang setiap detik diprediksi menjadi kekuatan dahsyat dan meluluh lantahkan
sistem sosial yang ada.

kenapa dendam menjadi terbiasa di seluruh masyarakat ini, alasan lain diantaranya adalah Keberpihakan para penguasa elit politik dan penguasa modal.

“Dendam”

ya kata ini semacam gejala dari dalam, dendam memang tidak baik keberlangsungan sosial. dendam kerap kali muncul saat segenap warga , tidak pernah merasakan tindakan keadilan hakiki, pemberontakan untuk melawan ketidakadilan tersebut membuat amukan badai lalina dari segenap kemarahan. Lihat saja misalnya papua nugini kota sebelah timur Indonesia berusaha untuk memerdekakan kota nya sendiri dan berusaha keluar dari jajahan bernama “Indonesia”.

Sifat dan prilaku agresif yang diperorntonkan sebagian kelompok warga negeri ini Nampak sebagai kekecewaan mereka saat menyikapi rasa ketidakadilan yang didapat. “dendam” meminta hak persamaan bagian kue dari sang majikan, jika tidak ada keadilan dalam pola pembagian hasil dari seluruh pekerja maka yang terjadi adalah rasa iri hati atau dendam. Dalam kondisi tersebut, bias dimaklumi kalau kemudian rasa dendam akan masuk akal.

Dendam pula lahir dari sebuah kerja keras, yang berharap akan mendapatkan penghasilan sama. Missal kan saja negeri Indonesia layaknya sebuah perahu yang berisi muatan penuh dengan tujuan sama. seluruh aktifitas penumpang mendapatkan jatah dan pekerjaan sama, saat mereka akan mendapatkan jatah hasil kerjaan, seluruh penumpang harus rela ngantri. Mereka ngantri lama karena ada harapan akan mendapatkan sesuatu yang di impikan.

Jika kemudian kondisi di lapangan tidak pada kenyataan nya, akan masuk akal kemudian sebagian para penumpang yang sudah rela bekerja keras dan ngantri kecewa dan dendam.

iri hati

Selain itu semua, boleh jadi kita sedang ada masalah dengan diri kita sendiri, tidak lain adalah “iri hari”, seperti dilansir di beberapa rujukan pengetahuan orang iri hati itu selalu melihat dirinya tidak beruntung jika dibandingkan dengan orang lain. Jika upaya membandingkan dengan orang lain, lalu kemudian memunculkan kebiasaan tidak puas dan berkeinginan untuk mendapatkan hal yang sama, baik dalam perlakuan atau mendapatkan jatah.

Bayangkan orang iri hati selalu menyembunyikan agresi dan berusaha untuk tidak ketahuan, bahkan iri hati bias disebut anti social, karena saat melihat orang lain dalam pola perbandingan penderitaan atau gagal, senang. Iri hati selalu melihat orang dari hasil yang didapat, tanpa melihat proses keberhasilan yang memakan waktu lama. Mereka kerap kali menjelekan orang lain dan meminta dukungan terhadap kesimpulan nya.

Yang pasti iri hati kini telah menjadi anti social, karena selain melihat orang lain menjadi saingan juga telah menjadi luka lama masyarakat bangsa ini. Kita semua sepakat kalau kemudian iri hati memang jelek, tetapi ada makna kalimat ini bias masuk akal? Tetpai kemudian kenapa masyarakat terjangkit perasaan iri hati? Tentu perlu jawaban tidak singkat….

Problem kejiawaan “iri hati” dikhawatirkan menjadi kekuatan besar telah meluluhlantakan system social untuk masyarakat negeri, awalnya memang semua menerima perlakuan kerja kera. Dalam bahasa sindhunata, iri hati muncul saat harapan untuk mendapatkan perlakuan layak tidak didapat. Sindhunata mencotohkan nya dengan atrian kendaraan saat terjadi kemacetan.

Tetapi senasib dan sepenanggungan masyarakat berubah agresi, karena mereka tak juga mendapatkan hasil yang sesuai dengan kerja keras. Mereka melihat orang lain mendapatkan hak layak dan berhasil, akibat kedekatan nya dengan penguasa tidak melalui kerja keras. Semestinya proses kerja keras dalam membangun bangsa ini, hasil nya disama ratakan dengan ratusan ribu warga lain nya. tidak yang kaya makin kaya sementara yang kondisi miskin tidak ada harapan untuk melakukan perubahan.

Bagi orang iri hati, hidup tidak dilakukan dengan kerja keras tapi di tentukan dengan nasib, loginya memang menarik, jika kerja keras dalam hidup harus berakhir dengan nasib baik maka tidak akan kemana.

Sial nya kini warga bangsa ini, selain berada dalam luka lama yakni iri hati juga telah hidup tidak memakal akal tetapi nasib. Kenapa kemudian hal itu terjadi akibat dari mendapatkan rasa keadilan yang didapat.
Diam-diam iri hati telah menyelinap ke dalam ruang bathin orang miskin semakin hari iri hati telah memasyarakat, meski mereka menerima dengan apa adanya, boleh jadi iri hati bagi warga bangsa Indonesia bias dianggap masuk akal. Karena tak ada harapan sedikitpun bagi warga miskin akan terjadi perubahan.

Tidak Menjadi “Indonesia”

Bahkan mereka berada dalam keadilan semu, tentu menciptakan keadialn tentu menjadi pekerjaan berat dari pemerintah setempat. Kalau tidak dilakukan tidak menutup kemungkinan terjadi ancaman retakan social. Pemerintah sby rupanya belum bias mentuntaskan masalah tersebut. Maka bagi sebagian budayawan kegagalan pemerintahan sby dalam pola meminimalisir tingkat kemiskinan tentu dengan keadilan yang hakiki dan tanpa membagibagikan keadilan semu.

Feri Wahyudin


november 2008