Rabu, 19 Maret 2008

ENTAH LAH... KAWAN...,

entah lah...,

kau harus bisa memaafkan dirimu sendiri,...
kau harus simpan rasa bersalah ,...,
kau berdiri dan iya kan itu semua,...

omongan nya nyerocos, kata-kata nya terdengar nyaring, juga fikiran nya utuh..., aku katakan pada teman lama ku saat bertemu di sarasehan kota bandung sore kemarin. meski aku juga tidak begitu mengerti jelas, pagi itu terasa berada dalam bayang-bayang teman lama ku..,

Lama aku mengumbar kegerahan, meski kami hanya berdiam, namun kami mengerti.., dalam itungan menit kami kemudian berpisah, kita harus terbiasa untuk selalu memaafkan diri kita sendiri. ungkap teman ku sambil mengisaf asap roko sigaretek. Batangan rokok sigaretek disimpan ditas gendongan nya, sesekali ku lihat tak sedikit berubah dari jenis tas, sejak kami duduk dibangku sekolah pergurian tinggi, tas warna hijau telah menjadi saksi bisu perjaanan teman ku.. Teman satu ini, memang agak berbeda dari segudang teman-teman ku.

dalam sarasehan bersama teman ku, memunculkan pikiran memuncak dan sesekali tak terkendali. aku dibawa dalam ruang tanpa batas, aku di bawa pada wilayah tanpa norma, aku diajak bertepuk dalam masa kegelapan, aku di tawari tentang kebinasaan, penindasan dan ketidakadilan. kau juga pernah merasakan yang sama bagaimana kami hidup dalam "dendam", rasa itu datang tiba-tiba, saat kita merasa di khanati kenyataan. kita sering kali menarik simbol kehidupan, namun kita tak bisa merubah nya. lalu kemudian ungkap teman lama ku,.. apa lagi yang membuat kamu bisa bertahan dalam gempuran waktu dan masa di sini dan sekarang..,

"ahh..., kau memang telah berubah dari sejak perpisahan 4 tahun lalu..., bingkisan note boke di buka nya , terlihat rentetan kata dan kalimat dari sejumlah file dalam note book milik teman ku, sesekali aku terheran dari sejumlah tulisan nya sering diakhir, duwai "kita membuka relung jalan tertutup oleh batangan-batangan indah saat bersama mu".

Perhatian nya kemudian tertuju pada rorkok sigaretek dan mengisap nya berulang kali. indah rasanya, seperti hidup susah tak didapat bersama rentetan sigaretek. mulai kami membuka obrolan panjang, biasanya memaafkan butuh waktu dan masa lama, tetapi kami tak punya kuasa dan kehendak untuk merunut satu persatu. dalam masa setiap kali dipertemukan kegerahan, kegirangan dan jenuh. waktu merunut runtaian satu persatu kegilisahan menjadi nyata , lagi-lagi aku tidak begitu mengerti apa arti omongan teman ku tentang memaafkan diriku sendiri.

bersambung..

feri wahyudin

anak bangsa