Selasa, 11 November 2008

Identitas Post Kolonial Di Indonesia.

Identitas Post Kolonial Di Indonesia.

Merunut kata post berarti setelah, suatu masa atau zaman yang telah berlalu. Kata tersebut sering kali dipakai kata penyambung dari kata yang akan diterangkan. Baik sebuah realitas atau sebuah ideology. Dalam kasus yang satu uni kata yang akan diterangkan nya yakni sebuah jargon ideology kenistaan atau penindasan yaitu colonial.

Keberadaan post colonial di Indonesia kini masih amat terasa, post colonial yang berarti generasi sesudah, tampil dengan wajah baru. Sosok nya kini masuk ke ruang tanpa batas. Dia bangkit dalam bingkai kehangatan simbolisme krisis manusia. Kelompok social dan generasi minoritas sebagai ladang dan ruang sasaran nya.

Tanpa disadari kesadaran kelompok minoritas menjadi terbatasi ruang dan gerak, di curigai dan di singkirkan. Di jarah hak-hak kemanusian dan kebebasan. Kenyataan ini bias terlihat dalam kelompok minoritas Tiongkhoa, kelompok social miskin, petani dan buruh.

Dalam kerangkeng ini, kolonial tampil dalam wajah baru, penjajahan pola baru tersebut, tidak menggunakan senjata bersama amunisi nya, sebagai alat untuk menekan kelompok minoritas. Tetapi memanfaatkan kekuatan politik dan ideom pergerakan yang berlaku pada saat itu.

Kenyataan nya, kita ambil contoh apa yang kita saksikan insiden mei 1998 di Jakarta dan Jogjakarta atau sebagian kota besar di Indonesia, siapa yang menjadi korban gerakan colonial pada tahun kemarin, tidak lain adalah komonitas Tionghoa. Dalam sejarah berdirinya Negara Indonesia, komonitas dan warga tionghoa di Indonesia kerap kali menjadi korban. Percaya atau tidak, ada bukti mereka di singkirkan dengan cara dijarah,diperkosa,di bakar.

Untuk kasus keberadaan tionghoa di Indonesia, memang terlihat pasang surut, warga yang mulai berkembang tahun 1808 di kota Jogjakarta, pada waktu itu tidak lebih dari 758 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pulau jawa pada tahun sama, hanya 2,04 % dari jumlah penduduk 94.441. Singkat cerita, warga keturunan tersebut, lima belas tahun berikutnya jumlah nya terus berkembang. Perkembangan jumlah jiwa warga keturunan tionghoa ini, jika di presentase mencapai 0,81% jiwa setiap tahun nya. Hal tersebut terjadi didorong akibat kebijakan politik sultan hamengkubono 1 dan daerah lain di pulau jawa, terkait hubungan harmonis antar kedua belah pihak.

Komonitas keturunan Tionghoa di Indonesia telah menjadi rahasia umum, mereka begitu banyak mengesuai sendi-sendi perekonomian, tidak sedikit warga tionghoa berprofesi sebagai pedagang dengan mobilitas tinggi. Kenyataan tersebut tidak hanya berlaku pada tahun sekarang, tetapi juga berlaku pada satu abad ke belakang. Lalu kemudian, kenapa muncul krisis dan konplik diantara warga pribumi bersama warga keturunan tionghoa di dataran pulau jawa? tidak lain bias di lihat dari keharmonisan warga keturunan tionghoa bersama sultan hamengkubono 1 tahun 1808 di dataran jogja dimanfaatkan warga tionghoa untuk menguasai sendi perekenomian dan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam hal kebijakan ekonomi yang dianggap telah menyengsarakan warga pribumi dan warga kebanyakan. Seperti pungutan pajak tol diserahkan kepada mereka, industry tekstil dan mudah nya fasilitas pinjaman ke bank. Lebih di perparah lagi tidak ada hokum yang tidak jelas di mata mereka.

Citra dan kesan warga keturunan tionghoa terus memburuk, selain kedekatan dengan pemerintah yang tidak berpihak ke masyarakat kecil, selain komonitas keturunan kerap kali fasilitas lebih untuk menguasai sendi perekonomian.

Apa yang terjadi kemudian, warga pribumi negeri Indonesia hidup dengan penuh dendam. Nampak nya dendam semakin hari semakin menjadi-jadi, bahkan telah menjadi ancaman bagi komonitas warga keturunan khususnya tionghoa. Layaknya seperti bom yang bias membumi hanguskan tataran bangsa ini. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada warga Indonesia.

Dari semua itu, warga keturunan tionghoa telah menerima hukuman dendam warga Indonesia, puncaknya mungkin kita bias lihat dari insiden mei 1998, mereka di usir,fasilitas bisnis mereka di bakar, mereka di perkosa, mereka di bunuh. Tentu ini semua adalh penjajahan dalam pola baru, meski tionghoa sebenarnya telah menjadi pelampiasan dendam warga negeri ini.


Menjadi Tidak “Indonesia”

Bersambung.........

Feri Wahyudin

november 2008
Falsafah Gerak Tubuh ,
Dalam Karya Lascar Pelangi Andre Herata

“Menulis lah dengan darah, karena darah adalah semangat…”

Layaknya sebuah cerita inspiratif penulis “sanga pemimpi” karya andre herata. Sosok novelis asal Belitung telah menghentakkan masyarakat Indonesia. Andre herata menulis tretalogi buku nya dengan judul sang pemimpi dan lascar pelangi. Novelis agak nya bercerita tentang kehidupan sang penulis bersama teman-teman nya sejak masa kecil, catatan masa kecil ini begitu menarik dan menggugah disaat penulis berusaha menuliskan kembali dalam bentuk novel, kekuatan kata dan kalimat dan ide cerita membuat karya andre tidak dipandang sebelah mata. Bahkan banyak novelis sanggup mensejajarkan dengan karya monumental lain nya, seperti tretalogi Pramoedya Ananta Toeur dan Seno Gumilar Ajidarma.

Kelahiran penulis asal Belitung ini, membuat sejumlah sastrawan asal negeri ini beramai-ramai untuk memberikan komentar, dan tak tanggung-tanggung salah satu karya berjudul lascar pelangi didokumentasikan melalui film dengan pengantar lagu dari group music nigi. Jika kemudian karya andre di telisik atas nama teori sastra, aku tidak begitu paham masuk dalam kategori apa karya nya tersebut. Akibat nya dari pada kita meributkan kembali, kategorisasi sebuah karya, rupanya lebih bermanfaat jika kemudian karya tetralogi andre di bongkar dalam silogisme post colonial dan falsafah gerak tubuh.

Membongkar satu persatu karya andre dalam tetralogi nya, perlu kerja keras, pasal nya karya dibikinan andre tidak hanya bercerita sejarah sosok penulis bersama teman-teman pasa masa kecil. Tetapi ada kekuatan lain di balik cerita yang membuat masyarakat Indonesia termasuk kita, “terganggu”. Dalam istilah lain ada energy yang menggerakkan karya andre herata yang mampu menyulap pemirsa untuk mengajak sekaligus menata kembali apa yang selama ini telah dianggap mapan.

Menurut kami, andre mengajak untuk berani menata dan membingkar apa yang selama ini dianggap benar, baik kebiasaan menolong orang, menentukan mimpi hidup, proses gerak tubuh dan kemanusiaan serta pengetahuan dan pendidikan. Ide simbolisme dalam cerita karya andre inilah membuat ribuan bahkan ratusan ribu warga Indonesia yang sedang tidur lelap telah disulap hingga berani menyimpan karya-karya nya berama ratusan sastrawan di Indonesia dan luar negeri degan menyimpan buku nya di bilik perpustakaan pribadi.

Lantas ada apa dengan andre, sosok penulis satu ini awalnya tidak begitu dikenal dalam dunia sastra di Indonesia, sekitar tahun 2007 andre pekerjaan analis sebuah perusanaan badan usaha milik Negara (BUMN) akhir nya berani mempublikasikan karya nya dengan judul lascar pelangi. Buku lascar pelangi, setidaknya berisi cerita masa kecil penulis bersama Sembilan teman sekolah. Ketekunan dan keberhasilan proses pendidikan tidak terlepas dari kegigihan seorang ibu guru , yang rela menyerahkan diri terjerumus dalam dunia pendidikan di kota Belitung.

Hingga akhirnya kondisi bangunan dan keadaan saran pendidikan yang dianggap kurang memadai tidak menjadi alasan untuk berhenti belajar. Proses penceritaan semakin menarik saat penulis kembali menggambarkan proses konplik kesembilan anak-anak kecil saat belajar, tak lepas dari konplik kejiwaan untuk mencintai dari si sang tokoh yakni andre.

Lascar pelangi boleh jadi adalah naskah sastra, bercerita dengan konsonan novel, cerita lascar mengajarkan banyak hal. Melalui kecanggihan tangan dan pikiran penulis, cerita lascar membuat pembaca terlibat aktif dalam kultur budaya belitong. Kota yang berada di dataran Sumatra bagian selatan negeri Indonesia ini, telah tergambar layak nya kota yang sedang mencari identitas. Melalui karya andre balitong layaknya kota mati yang sepi keramaian, keterbatasan dan kesedehanaan masyarakat setempat tak juga mengurungkan niat nya untuk membentuk kembali apa yang disebut kota mati.

Kalau dalam cerita nya sampar albert camus, kota mati karena telah diserang penyakit yang belum ada obat mujarab, hingga akhirnya warga telah disibukan mengobati serangan penyakit yang mematikan. Lain dengan cerita belitong, kota sepi yang penduduk nya telah disebukkan dengan serba sulit untuk bertahan hidup dan mencicipi indah nya pengetahuan. Boleh jadi warga balitong tidak sama sekali mempedulikan siapa dan mengapa negeri ini terus diterjang krisis, karena baginya Indonesia adalah sarang kenistaan dan penjajahan. Untuk mencicipi masis nya pendidikan warga harus menunggu jumlah murid yang genapberjumlah sepuluh orang.

Maka bagi kami kota belitong, layaknya kota mati mati dari kemerdekaan pendidikan, kemerdekaan kesehatan dan kemerdekaan krisis budaya juga identitas budaya warga setempat. Bagaimana tidak, untuk bias sekolah saja susah nya minta ampun, tentunya pendapatan yang biasa-biasa saja menjadi alas an warga setempat hanya bias menyekolahkan anak nya ke jenjang smp. Adalah ayah lintang, salah satu murid sd muhamadiyah di kampong belitong, harus bersusah payah menyekolahkan lintang. Ayah lintang sehari-hari berprofesi sebagai nalayan di kampong belitong, dari kesembilan anak nya hanya lintang yang bias mencicipi pendidikan. Ke delapan anak nya tidak pernah sekolah, mereka terpaksa harus melaut untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Tergambar kota belitong, tidak hanya kota mati dari aktifitas politik dan kemanusiaan. Namun seluruh penduduk nya rupanya malu untuk menyebutkan kampong satu ini. Tergambar seluruh penduduk di kampong ini termsuk orang udik, tidak berpendidikan dan terbelakang. Kampong yang hanya di layani sarana pendidikan ala kadarnya membuat warga setempat tidak percaya jika kemudian mereka bias berkreasi lebih bagus. Warga di kampong ini telah dirudung masalah besar, selain harus menyelesaian masalah ekonomi yang belum berakhir juga mereka telah dihinggapi rasa penyesalan besar, kenapa mereka harus tumbuh di bumi bernama belatong. Secara tidak nyata, warga setempat telah terancam ketakutan yang besar, yakni dihinggapi kematian. Kematian yang setiap saat akan dating secara tiba-tiba, yakni dengan tidak bias makan. Akibat nya pendidikan didaerah ini tidak lah di utamakan,

Bersambung…………..

Feri Wahyudin


November 2008