Sisi Lain Dalam karya Sastra
Sisi lain matamu turut berbinar semerbak wangi tubuhnya di antarkan sejuknya aroma binar birahi mu. Sejak ku bertemu dan berkata-kata dengan kaidah kemanusiaan ingin ku katakan apa yang tersembunyi di balik aroma manis tubuh dan katamu. Ingin ku bawa jasad, birahimu ke alam yang tak pernah kau temukan sebelumnya. Di alam itu, aku kerak kali berkata apa yang tak pernah orang lain lakukan, ada nada asing kudengar,ada kata baru yang ku dengar, ada manis manjamu di bilangan samudra kata nya. Namun aku hanya bisa bertasbih atas nama tuhan ku, ku katakan padanya bahwa nasib memang bisa berubah, tapi kemudian irama nya tak seiya sekata dalam diri yang masih bertebaran dan ritme hidup kini dan sekarang.
Ingin ku muntahkan nada sambung, lembut, bijak. Namun penghuni alam itu tak rela jika kemudian aku harus bertelungkup di alas kaki sang penguasa. Aku tahu betul, dikemudian hari irama nasib ini akan kembali berubah saat sejumlah tanda dan kata merangkai. Dalam tradisi penulisan novel, pada masa kini sosok pengarang kembali di pertanyakan, sebuah kata, kalimat di pertanyakan bersama dengan sosok sang pengarang. Dalam kata dan karya ada jarak yang mempertipis irama penafsiran. Sosok tokoh dalam cerita novel, menjadi tak mempunyai arti tetap ketika pengarang tidak terlibat aktif didalamnya, tidak heran kemydian banyak karya sastra bagian dri cara untuk menggambarkan sisi perjalanan sosok tokoh.
Kini tradisi budaya pascakolonial, sebuah gerakan peradaban tengah berusaha menggugat calon tokoh dalam sebuah novel, pasalnya karena kerap kali ada kecenderungan mengartikan sesuai dengan sekehendak nya.
Menurut sebagian kritis sastra dalam beberapa tulisan menoreh sebuah artikulasi tokoh dan peran bisa diupayakan sebagai langkah dalam mendapatkan penghargaan nobel dari sang pengarang atau penulis. Dalam tradisi pascakolonial ini saya melihatnya langkah ambiguitas dan tak mempunyai arti penting dari sebuah karya nyata perjalanan sang pengarang, disaat beberapa pemikir barat mengistilahkannya dengan sang pengarang telah mati, tidak hanya tuhan dan manusia yang telah mati, kini sang pengarang dalam tulisan itu juga telah dirudung masalah. Jika memang kondisinya demikian, apa yang kemudian diharapkan kini dari kita bersama… apa yang diungkapkan plato saat dirinya menggagas naskah besarnya…..
Dalam puisi dan sajak saeni seperti dilansir Goenawan Muhammad, Saeni baginya tak seperti sastrawan lainnya. Karya terbesar yang dituliskannya, Saeni memakai kalimat dalam bingkai ide baku, dengan dukungan kehidupan nyata. Sebagian sastrawan mengkategorikannya dengan sastra realis, Jika dibandingkan dan dirata-ratakan dengan sastrawan lainnya, mereka biasanya membuat sebuah karya sastra dengan berpedoman sama-sama dari hidup disini dan sekarang, kemudian proses persentuhan ditarik ke alam ide. Tidak bagi Saeni, dirinya bisa melahirkan ide dan gagasan sastra mutlak, yang tentu bisa merubah hidup sang pembaca. Bagi Saeni sang pembaca tidak pada posisi pasif dan menerima, kemudian di suguhkan sejumlah pertanyaan. Tetapi membaca karya Saeni, kalimat sastranya seolah akan memberikan solusi jelas bagi sang pembaca, saat mereka bersentuhan dengan karya saeni. Disini menurut Goenawan, karya saeni di kategorikan pada basis filosof Plato.
Membaca karya saeni, kita bersentuhan dengan cara terselubung dalam jelajah sajak-sajak dan puisi-puisi saeni. Seolah-olah telah terbaca cara solutif dalam memecahkan hidup saat manusia tertimpa dan menerima, dengan segudang ide yang tertera dalam karyanya itu, sang pembaca tidak dibuat bingung. Lagi sastrawan besar seperti saeni begitu menghargai kepada sang pembaca, proses dialog dikedepankan dalam upaya menyelesaikan hidup nya bersama tetangga dan juga teman pembaca. Karena kita juga menganggap, apa artinya jika kemudian teks sastra setiap dibaca justru memunculkan segudang masalah dan bukan membuat solusi, kondisi tersebut menjadi sebuah karya sastra misalnya, dianggap tak bernilai gagasan dan ide cemerlang. Sang penulis boleh jadi hanya mengumbar ide dan budaya yang mereka pahami sendiri dengan kepentingan dalam proses perubahan sang pembaca. Pasalnya dalam sejarah dunia global menjadi subjek otonom dan mampu memaknai dirinya sendiri memang agak sulit dan rumit. Dalam artian dalam dunia pascakolonial mencari efistimologi mandiri agaknya sulit, menjadi diri nya sendiri lepas dari jajahan tak semudah apa yang kau bayangkan. Saeni rupanya berusaha sekuat tenaga membongkar kerangkeng tersebut, lebih jauh dari itu semua kita memerlukan teori ala bhabha misalnya sebagai alternatif upaya dalam proses pembongkaran hubungan antara teks dan bahasa. Kaitannya dengan hubungan teks dan realitas yang membebaskan, bagaimana membebaskan teks dari kekangan, aku yang berbahasa. Kita berusaha menelanjangi dengan bantuan dengan teori bhabha sebagai upaya membongkar itu semua.
Teori liminalitas bhabha bermaksud menelanjangi pertentangan yang keliru antara teaori dengan praktek, khususnya dalam dunia pascacolonial. Dengan dekontruksi ia ingin menggagas kembali oposisi biner yang sudah terlalu disederhanakan sebagai penjajah dan terjajah. Dengan oposisi biner ia ingin menghidupkan kembali ruang kosong antara teori dan praktek. Hubungan keduanya kerapkali menjadi ajang pertarungan politik, seluruh berita digiring kepada kepentingan satu kelompok dan organisasi tertentu. Berita bisa dianggap tidak hanya sekedar hubungan dan menggambarkan realitas dan berusaha menggambarkannya, menurut bhabha tidak sesederhana dalam proses menceritakan dan penggambara, seperti halnya saat bercerita tragedi pembunuhan misalnya. Saat upaya itu berlangsung ada ruang ketiga, diantara cerita realitas atau praktek, apa ruang itu semua, tidak lain adalah teks. Hubungan si aku dengan teks sama dekatnya antara aku dengan bahasa, jadi ruang ketiga itu adalah teks dan bahasa. Inilah ruang yang bisa menggambarkan sebuah kebenaran kenyataan.
Apa keuntungan itu semua bagi kita yang setiap hari bergelut dalam dunia teks pemberitaan, tidak lain adalah sebuah interpretasi dari realitas dan praktek. Dalam media pemberitaan selalu dibangun pada dua tahapan, yakni sosok reforter sebagai subjek dan realitas berita sebagai objek. Jika disanding dalam dunia global dan kaitannya dengan teori diatas, maka Sosok reforter akan berhadapan pada persoalan terjajah dan penjajah dari kepentingan teks berita, mungkinkah kita berada pada posisi menggambarkan dan bercerita perihal kebenaran isi berita, tentu harus ada penelitian khusus, mengenai itu semua.
Yang saya pahami dari teori liminalitas bhabha terkait mengupas hubungan antara si pencerita dengan teks atau bisa disebut berita dan realita, adalah upaya bhabha dalam membangun identitas baru dari krisis epistimologi, istilah kerennya. Boleh jadi bagaimana teks berita tidak dibangun berlandaskan bangunan subjek dan objek tetapi ada keterlibatan aktif antara kepentingan keduanya, tentu juga berlandaskan dasar bahasa yang sama.
Konkritnya mungkin gembaran diatas bisa di beri contoh dengan tangga, hubungan tangga bawah dengan tangga atas akan mengantarkan seseorang kepada ruang ketiga, istilah bhabha. Dalam kasus hubungan teks dan realitas ini, teks dan realitas tidak dapat diartikan sebagai pertentangan antara bawah dan atas atau hitam dan putih yang membuat satu menang dan kedua kalah. Tetapi antara berita dan realitas, menjadi ajang interaksi simbolik yang akan menghantarkan kepada ruang ketiga atau ruang ambang. Lantas menurut bhabha apa fungsi ruang ketiga dari sebuah pemberitaan tidak lain adalah teks. Teks barang kali dapat dihadirkan menjadi sebuah novel, film dan berita, yang didalamnya aneka pemaknaan tetap dilakukan. Disini boleh jadi dapat membedakan antara menulis sesuatu dengan mencatat sesuatu, sebab menulis juga memberikan makna didalamnya. Jadi menulis berita juga memberikan makna didalamnya yang tentu itu semua sebagai upaya dalam menemukan sebuah kebenaran dan keadilan dari hubungan antara reforter dengan realitas.
Ini adalah bagian dari upaya kita untuk membongkar kebiasaan buruk kita, yang selalu menyalahkan setiap apa yang dilihat dan dirasakan. Ini adalah upaya kita agar tidak terkecoh dari kebiasaan rutin yang melelahkan, adalah bentuk untuk memperjelas bagaimana seharusnya kita membangun identitas dari sebuah rutinitas sehari-hari. Tetapi kawan sebuah upaya tidak harus dibarengi dengan penyesalan, boleh jadi akan bermanfaat di kemudian hari.
Manusia, teks dan bahasa
Meminjam istilah seno gumilar ajidarma, dalam salah satu tulisan dimedia jawa barat pekan lalu, seno melihat ada keterkaitan yang erat antara aku dan bahasa. Bahasa sebagai medium mengumbar diri dan ide, telah menjadi media alternatif dalam menyampaikan sesuatu dan pesan, karena dengan itu semua dirinya bisa disebut sebagai subjek kreatif, istilah filsafat eksistensi menjadi bagian dari eksistensi nyata. Dalam artian begitu eratnya hubungan keduanya, sehingga bahasa mendapatkan porsi yang khusus dalam sejarah filsafat. Oleh sebab itu, menurutku bahasa yang dipakai sehari-hari oleh kita bersama tentu mempunyai logika dan budaya nya sendiri, tidak percaya kita buktikan.., saat manusia hidup dalam sistem sosial, di sisi manusia di bangun pada dua aspek kejiwaan. Dua aspek kejiwaan tersebut yakni Super ego dan ego, aspek kejiwaan tersebut berusaha menjembatani saat di rudung ketidakseimbangan realitas. Maka budaya disebut juga bagian dari hasil solusi bersentuhannya kedua aspek tersebut. Contoh yang paling populer di kalangan budayawan yakni disisi lain manusia di tuntut untuk berbuat baik, saat bersamaan juga manusia ada keinginan dalam mengingkari kabaikan dirinya.
Bagaimana tidak kawan, kalimat bawah misalnya dalam bahasa indonesia mempunyai makna berbeda yang dipakai dalam bahasa sunda, sama hal nya dengan arti bawah dalam bahasa inggris. Hal serupa juga dengan contoh bahasa populer lainnya. Tidak hanya sampai disitu, kebiasaan berfikir dengan memakai logika bahasa sehari-hari begitu berfengaruh saat berusaha menggambarkan kenyataan dan realitas yang lebih besar, misalnya dunia dan alam diri.
Disini saeni memposisikan sang pembaca tidak dalam keadaan pasif, diam sebagai orang yang menerima, tetapi malah sebaliknya. Sang pembaca teks diajak untuk berdialog untuk mencari solusi terakhir sebagai alternatif dalam memecahkan masalah, boleh jadi dirinya berfikir teks mengandung segudang budaya yang melarbelakangi yang akan mempengaruhi ide di balik sebuah karya sastra.